18.2.09

Transaksi Derivatif

Belakangan ini ramai diberitakan mengenai potensi kerugian akibat transaksi derivatif, baik dari sisi perbankan maupun dari nasabah. Menurut anggota DRP Drajad Wibowo potensi kerugiannya sekitar 4 millar dollar AS, sedangkan dari sisi nasabah agak susah untuk mendapat informasi yang pasti. Kerugian akibat transaksi derivatif sudah diramalkan oleh sebagian kalangan keuangan sejak terjadinya krisis subprime mortgage di amerika.


Di Indonesia gonjang-ganjing kerugian transaksi derivatif ini sudah mulai terasa sejak melemahnya rupiah. Hal ini masuk akal karena transaksi derivatif di Indonesia banyak dilakukan terkait dengan mata uang. Sehingga jika salah satu mata uang mengalami pelemahan maka potensi kerugian akan terbuka.


Transaksi derivatif merupakan transaksi yang lumrah dilakukan dalam bisnis keuangan terutama dalam bisnis internasional. Selain bank, pelaku transaksi derivatif biasa perusahaan-perusahaan yang mempunyai pendapatan atau pengeluaran dalam dollar. Mengapa demikian karena perusahaan tersebut harus memelihara posisi keuangannya agar tidak terjadi rugi kurs karena naik atau turunnya nilai mata uang, rupiah misalnya.



Contoh sederhananya adalah sebuah perusahaan importir di Indonesia akan membeli kedelai dalam jumlah tertentu 5 bulan kedepan. Berarti perusahaan tersebut harus menyediakan sejumlah US $ lima bulan kemudian. Harga disepakati saat ini katakanlah sebesar US $ 100 dimana US $ 1 = Rp.10.000,-. Kalau lima bulan kemudian kurs tidak berubah maka perusahaan harus menyediakan rupiah sebesar US$ 100 X Rp. 10.000 = Rp. 1.000.000,-, dan bank harus menyedian US$. 100.


Untuk mengantisipasi naik turunnya kurs Rp, maka perusahaan tersebut membuat perjanjian (forward) dengan bank untuk membeli dollar lima bulan yang akan datang, misalnya US $ 1 = Rp. 10.500,-. Sehingga dalam lima bulan mendatang perusahaan harus menyediakan rupiah sebesar Rp. 10.500,- X 100 = Rp. 1.050.000,-. Jika dalam lima bulan kemudian ternyata US$ 1 = 12.000,-, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut untung sebesar (Rp. 12.000,- X 100) – Rp. 1.050.000,- = Rp. 150.000,-. Sebaliknya jika ternyata kurs rupiah lima bulan kemudian adalah US$ 1 = Rp. 9.000,-, maka perusahaan tersebut dapat dikatakan rugi sebesar (Rp. 9.000 X 100) – 1.050.000 = Rp. 150.000,-. Bayangkan kalau nilai transaksinya US$ 10.000.000,-, maka potensi keuntungan atau kerugiannya adalah sebesar Rp. 15 milyar!!!!!


Apa sebenarnya yang dimaksud dengan transaksi derivatif? Jika melihat ketentuan PBI
No. 28/119/KEP/DIR, tanggal 29 Desember 1995, maka yang dimaksud dengan transaksi derivatif adalah : “transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrument yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, namun tidak termasuk transaksi derivatif kredit”.


Jenis transaksi derivatif antara lain forward, option, interest rate swap, cross currency swap, collateralized debt obligations (CDO), credit default swap (CDS) dll yang saya sendiri tidak begitu mengerti. Lahirnya transaksi derivatif mestinya dipandang sebagai upaya untuk mengecilkan atau memindahkan resiko dari satu pihak kepada pihak lain. Oleh sebab itu harusnya transaksi derivatif merupakan alat untuk melakukan hedging bukan untuk spekulasi semata.


Dalam dunia internasional sudah ada aturan terkait dengan transaksi derivatif, yaitu International Swap Dealers Association (ISDA). Di Indonesia sendiri tidak banyak aturan mengenai transaksi derivatif. Selain mengacu pada ISDA maka jika ada sengketa akan tergantung dari perjanjian antara para pihak.


Kalau mengacu pada pasal 1338 KUHPerdata, maka perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak itu sendiri. Sehingga bagi para pihak yang sudah menandatangi perjanjian derivatif mestinya beritikad baik untuk melaksanakan perjanjian tersebut, baik jika untung maupun kalau rugi.


Namun jika berpotensi kalah atau rugi begitu besar, maka pihak yang kalah/rugi tersebut biasanya tidak kurang akal untuk ngemplang dari kewajiban. Kalau perlu sewa advokat untuk mengajukan gugatan pembatalan perjanjian ke pengadilan. Kasih dokumen yang terkait dengan transaksi antara lain perjanjian, trade confirmation, proposal, jaminan jika ada kepada advokat. Selanjutnya, macam-macam “jurus” akan diungkapkan, mulai dari tidak mengerti isi perjanjian, tidak tahu bahasa inggris, dirayu, ditipu, perjanjian untung-untungan, paksaan, melanggar aturan dll. Pokoknya akan dicari alasan agar tidak membayar atau membatalkan perjanjian. Syukur2 gugatan dikabulkan, maka akan terbebas dari kewajiban membayar, atau paling tidak kalaupun gugatan ditolak dan harus membayar kewajiban maka kewajiban tersebut baru akan dilakukan 3 tahun kemudian. Ini dengan asumsi bahwa perkara tersebut dari tingkat pengadilan negeri sampai dengan kasasi di mahkamah agung selesai dalam 3 tahun….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar