18.8.09

Polda Jatim terbitkan SP3 kasus Lapindo

SURABAYA - Kasus penyidikan lumpur Lapindo akhirnya tak berlanjut ke peradilan, menyusul diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polda Jatim, Rabu (5/8). Sejak kasus itu ditangani Polda Jatim pada 29 Mei 2006, berkas perkaranya selalu bolak-balik antara Kejaksaan Tinggi Jatim dan Polda Jatim, dengan alasan berkas belum lengkap (P 19).

"Kita sudah semaksimal mungkin memenuhi petunjuk Jaksa Penuntut Umum dalam P 19, tapi ada beberapa petunjuk yang diulang dan belum bisa dipenuhi," ungkap Kabid Humas Kombes Pol Pudji Astuti, Jumat (7/8).

Pudji menegaskan bahwa Polda tidak mampu membuktikan korelasi antara semburan dalam radius 150 meter dengan pengeboran. "Petunjuk itu sulit dipenuhi karena tidak ada saksi dan tidak ada ahli yang bersedia menyatakan adanya korelasi," ujar Pudji Astuti.

Penerbitan SP3 itu juga mempertimbangkan adanya dua putusan atas gugatan perdata yaitu YLBHI dengan pemerintah RI dan Walhi dengan Lapindo Brantas. Pemerintah RI yang telah memiliki kekuatan hukum tetap menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran hukum, melainkan fenomena alam dan bukan kesalahan Lapindo Brantas.

"Berdasar pemeriksaan maksimal dan tidak bisa dipenuhinya permintaan jaksa, maka dengan demikian unsur-unsur pidana tidak terbukti. Untuk itu penyidikan dihentikan. Polda Jatim telah menerbitkab SP3 pada hari Kamis tanggal 5 Agustus kemarin," lanjutnya.

Dengan terbitnya SP3 ini, Pudji menegaskan bahwa status 13 tersangka yang semula ditetapkannya, akhirnya gugur. Para tersangka yang diberkas menjadi tujuh berita acara pemeriksaan (BAP) itu di antaranya adalah berkas Subie, (supervisi pengeboran PT Medici Citra Nusa), Rahenold (supervisi pengeboran PT Medici Citra Nusa), dan Slamet BK (staf supervisi pengeboran PT Medici Citra Nusa); Williem Hunila (staf pengeboran Lapindo Brantas Inc); Edi Sutriono (staf pengeboran Lapindo Brantas), dan Nur Rahmat Sawolo (Vice President drilling PT Energi Mega Persada yang dikaryakan di Lapindo).

Selain itu, Yenny Nawawi (Dirut PT Medici Citra Nusa); Slamet Rianto (Manajer Proyek Pengeboran PT Medici Citra Nusa); Suleman bin Ali (pengawas rig atau alat bor PT Tiga Musim Mas Jaya); Lilik Marsudi (juru bor PT Tiga Musim Mas Jaya); Sardianto (mandor pengeboran PT Tiga Musim Mas Jaya); Imam P Agustino (General Manager Lapindo Brantas Inc); dan BAP Aswan P Siregar (mantan GM Lapindo Brantas Inc sebelum Imam Agustino).

Penetapan para tersangka itu berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 60 saksi dan 21 ahli. Ke-60 saksi meliputi 21 saksi korban, dua saksi dari Pemkab Sidoarjo, 31 saksi pelaksana pengeboran, dan enam saksi dari BP Migas.

Untuk ke-21 ahli meliputi lima ahli geologi, dua ahli teknik perminyakan, empat ahli pengeboran, satu ahli lingkungan, satu ahli pengairan, satu ahli bahasa, satu ahli kerusakan tanah, dua ahli hukum pidana, dua ahli pengeboran, dan dua ahli gempa BMG.

Penyidikan kasus Lapindo ditangani oleh penyidik Satuan Pidana Tertentu (Satpiter) Direskrim Polda Jatim sejak 29 Mei 2006 semasa Kapolda (lama).

Irjen Pol Herman S. Sumawiredja. Sebelumnya, berkas kasus lumpur Lapindo sudah "bolak-balik" polisi-jaksa sejak tahun 2006, yakni polisi menyerahkan pada 30 Oktober 2006 dan jaksa mengembalikan pada 10 November 2006.

Tahun 2007, polisi menyerahkan pada 16 Februari 2007 dan jaksa mengembalikan pada 28 Februari 2007. Untuk tahun 2008, polisi menyerahkan pada 25 Januari 2008 dan jaksa mengembalikan pada 5 Februari 2008. Gelar perkara terakhir pada 24 Juli 2009, didapat fakta dari pemeriksaan berdasar petunjuk jaksa, tidak dapat ditemukan adanya unsur tindak pidana dalam kasus itu.
(dat05/rn)

Sumber : WASPADA ONLINE
Read More ..

1.6.09

Mahkamah Agung Tolak Kasasi YLBHI Kasus Lapindo

[29/5/09]

Dalam pertimbangannya, majelis kasasi berpendapat alasan memori kasasi yang diajukan YLBHI hanya pengulangan dalil-dalil yang sudah disampaikan pada pengadilan di tingkat sebelumnya.

Semburan lumpur lapindo di Sidoarjo pada Jumat (29/5) akan tepat ‘berusia’ tiga tahun pada Jumat (29/5). Puluhan ribu warga menjadi korban dan terpaksa menjadi pengungsi. Sepuluh desa hilang tenggelam lumpur. Diperkirakan lumpur akan terus memakan korban karena hingga kini tak ada tanda-tanda semburan akan berhenti.

Berlarut-larutnya proses ganti rugi oleh Lapindo tentunya menjadi pukulan menyesakkan bagi korban. Boleh jadi kenyataan pahit bagi masyarakat korban akan bertambah setelah mendapat informasi dari Mahkamah Agung.

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Nurhadi mengatakan majelis hakim agung menolak kasasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melawan Pemerintah dan Lapindo. Putusan diambil 3 April 2009, dengan majelis yang dipimpin oleh Paulus Effendy Lotulung dan beranggotakan Ahmad Sukarja dan Imam Soebechi. “Amar putusannya, kasasi ditolak,” ujar Nurhadi kepada wartawan, Kamis (28/5).

Alasannya, memori kasasi yang diajukan oleh YLBHI hanya berupa pengulangan dalil-dalil yang sudah disampaikan pada pengadilan di tingkat sebelumnya. “Dalilnya sama dengan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,” kata Nurhadi.

Pemohon juga melakukan penilaian terhadap hasil pembuktian. Padahal, lanjut Nurhadi, argumen seperti itu tak bisa dipertimbangkan oleh majelis kasasi. Alasan untuk mengajukan kasasi, antara lain adanya kesalahan penerapan hukum di pengadilan tingkat bawah. “Putusan ini artinya, lapindo dimenangkan,” tegasnya.

Direktur Riset dan Pengembangan YLBHI, Zainal Abidin menyayangkan putusan ini. Menurut dia, putusan MA ini menunjukkan rendahnya kepedulian institusi peradilan terhadap rasa keadilan masyarakat. “Putusan ini bisa menjadi preseden buruk bagi masyarakat yang menjadi korban dalam kejadian serupa di kemudian hari,” kata Zainal lewat telepon, Kamis (28/5).

Untuk mengingatkan, YLBHI yang tergabung dalam Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Panas Sidoarjo menggugat Pemerintah dan PT Lapindo Brantas (Turut Tergugat) ke PN Jakarta Pusat, Desember 2006 lalu. Mereka menggugat kelambanan dan ketidakseriusan pemerintah dalam menanggulangi dampak semburan lumpur. Sayang, dalam putusannya majelis hakim PN Jakarta Pusat menolak gugatan karena menilai pemerintah dan Lapindo sudah bertanggung jawab.

Bagi Zainal, putusan MA ini kontradiktif dengan kondisi di lapangan. Pemerintah dianggap tak bisa menunjukkan ‘taringnya’ melihat berlarut-larutnya proses pembayaran ganti rugi oleh Lapindo. Padahal pemerintah sudah mengaturnya dalam Perpres No 14 Tahun 2007. “Pemerintah lebih membela Lapindo dari pada warga negaranya sendiri. Hal ini terlihat dari gagalnya pemerintah mengimplementasikan kebijakannya sendiri yang tertuang dalam Perpres No 14 Tahun 2007.” Atas putusan ini, Zainal menyatakan YLBHI akan mempertimbangkan untuk mengajukan upaya peninjauan kembali.


Gugatan oleh Korban?

Sejauh ini memang baru LSM yang mengajukan gugatan. Selain YLBHI di PN Jakarta Pusat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga pernah menggugat PT Lapindo Brantas dkk di PN Jakarta Selatan. Nasib gugatan ini serupa. Hakim PN Jakarta Selatan menolaknya. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan itu.

Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Taufik Basari menandaskan putusan MA ini tak menutup pintu bagi korban lumpur untuk mendapatkan keadilan. “Masyarakat yang menjadi korban masih bisa mengajukan gugatan kepada pemerintah dan Lapindo dengan dalil, fakta dan data yang berbeda,” ujar pria yang biasa disapa Tobas ini.

Salah satu pilihan gugatan yang bisa ditempuh korban, lanjut Tobas, adalah gugatan wanprestasi kepada Lapindo. “Ini terkait dengan sikap Lapindo yang terus mengulur-ulur pembayaran ganti rugi yang menyebabkan penderitaan korban menjadi bertambah.”

Zainal tak sependapat dengan Tobas mengenai pilihan rencana gugatan oleh korban. Menurut dia, dengan sistem peradilan yang belum menjamin keadilan bagi masyarakat ini, peluang korban untuk menang amatlah tipis. “Nanti kalau gugatannya ditolak, bisa menjadi dasar bagi Lapindo untuk tak mau membayar ganti rugi. Jika ini terjadi, siapa yang mau menanggung penderitaan korban?”

(IHW/Ali)
Sumber : www.hukumonline.com
Read More ..

Duduk Bersama Bukan Solusi Selama Persyaratan Belum Terpenuhi Kasus Lapindo

[30/5/09]

Kejaksaan belum terpikir rencana percepatan penyelesaian kasus Lapindo. Sementara, Polri akan mempercepat langkah apabila ada putusan perdata MA yang mendukung penyidikan.

Pada tahun 2006, Polda Jawa Timur mulai mengusut kasus pidana yang menyebabkan semburan lumpur PT Lapindo Brantas Inc. Namun, sampai tiga tahun berjalan, berkas penyidik belum juga dinyatakan P21, lengkap syarat formil dan materil. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tidak dapat menyatakan lengkap karena keterangan ahli yang dijadikan salah satu alat bukti masih terpecah-pecah. Dari 12 ahli yang dimintai pendapat, sembilan ahli menyatakan semburan lumpur Lapindo murni disebabkan bencana alam dan sisanya menyatakan human error.


Selain itu, ada bukti hasil laboratorium yang menyebutkan bahwa zat yang terkandung dalam semburan lumpur Lapindo adalah zat yang ditemukan di kedalaman 20.000 kaki. Sementara, pengeboran baru mencapai 9200 kaki.

Atas dasar ini, Kejaksaan menilai alat bukti yang disodorkan penyidik menjadi tidak kuat, sehingga penuntut umum tidak mau menerima pelimpahan berkas dari penyidik. Dan itu terjadi sampai saat ini. Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD) mengatakan hingga kini, masih terjadi ketidaksepahaman antara penyidik dan penuntut umum (29/5). Sehingga, kasus ini jalan di tempat dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi semua pihak, baik korban maupun tersangka.

Walau berada dalam ketidakpastian hukum, BHD menyatakan belum ada rencana untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus ini. Ia masih berharap dapat mensinkronkan persepsi antara penyidik dan penuntut umum. Caranya, ya dengan duduk bersama mencari titik temu terkait dengan perbedaan pandangan ahli atas penyebab semburan lumpur Lapindo ini.

Sejalan dengan itu, kepolisian juga akan melihat perjalanan putusan Mahkamah Agung (MA) tentang keperdataan dan lainnya. Apabila MA mengeluarkan putusan perdata yang mendukung terpecahnya kebuntuan penyidikan selama ini, maka kepolisian akan secepat mungkin memberikan kepastian hukum. "Kalau nanti ada putusan MA yang mendukung, tentunya kita tidak akan berlama-lama dan mungkin akan melakukan tindakan-tindakan untuk memberikan kepastian hukum," ujar BHD.

Maka dari itu, kepolisian belum akan memberhentikan kasus Lapindo ini. Andaikata putusan yang dimaksud sudah keluar, kepolisian akan mengkajinya terlebih dahulu. Setelah itu, akan mencoba duduk bersama dengan penuntut umum. Siapa tahu perbedaan pandangan mengenai keterangan ahli dapat terselesaikan, dan berkas bisa dinyatakan P21 oleh penuntut umum. "Kita lihat nanti, kita kaji, andaikata kita bisa duduk bersama dengan penuntut umum bisa menyelesaikan perbedaan pandangan tentang keterangan ahli, ya Insya Allah berkas maju," tukasnya.

Harapan kepolisian ini ditanggapi pihak kejaksaan. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga mengatakan, silahkan saja selama syarat kelengkapan berkas terpenuhi. Masalahnya, persyaratan mengenai ahli itu tidak dapat diganggu gugat. "Kalau nggak bisa memenuhi (syarat), masa' persyaratannya yang harus diubah?" tandasnya.

Masalahnya, jalur pidana merupakan sisa 'amunisi' yang tertinggal untuk penyelesaian kasus Lapindo. Jalur perdata sudah kandas, seiring dengan ditolaknya kasasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) oleh Mahkamah Agung, 3 April lalu. Untuk itu, Ritonga ingin supaya kasus Lapindo ini diajukan dengan bukti yang kuat. "Jadi, itu di perdata sudah kalah. Nah, nyawanya tinggal di pidana. Di pidana sudah menyatakan syarat ini harus kuat," ujarnya.

Ia khawatir kalau tetap dipaksakan lanjut ke persidangan, para terdakwa akan diputus bebas majelis hakim. Dan lagi-lagi yang akan menjadi bulan-bulanan adalah kejaksaan. "Nanti kalau diputus bebas bagaimana? Kalian salahkan saya? Mau dipaksakan maju, ya maju aja. Tapi, kalau ada apa-apa nggak tanggung jawab," cetusnya.


Langkah percepatan

Sementara kepolisian sudah merencanakan langkah ke depan guna mencapai kepastian hukum, kejaksaan belum terpikir untuk melakukan percepatan penyelesaian kasus Lapindo ini. Masalahnya bukan apa-apa, sudah tiga tahun kasus ini berjalan, tapi tak kunjung mencapai titik temu."(Crash program atau percepatan penyelesaian perkara) belum terpikir. Penyidikan masih di Kepolisian. Nggak ada dalam KUHAP, kalau (sudah) tiga tahun harus diterima," kata Ritonga.

Lagipula penyidik, harus mengklarifikasi kepada ahli mengenai apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur tersebut. Sehingga, lanjutnya, akan menjadi (pembuktian) yang dapat dipertanggungjawabkan. "Kausalitasnya jelas." Dengan demikian, sampai saat ini, kejaksaan masih akan menunggu dilengkapinya penyidik untuk memperkuat bukti. Termasuk mensinkronkan pendapat ahli dengan fakta pengeboran Lapindo yang baru 9200 kaki.

Mengenai ahli, Ritonga mengatakan tidak ada kualifikasi khusus. "Nggak ada. Kalau ahli mengenai Lapindo nggak mungkin tukang becak, yang pintar-pintar lah. Ini soalnya di bawah tanah. Kalau ilmu sosial berbeda pendapat itu lumrah, tapi kalau 'ilmu' Lapindo itu kan eksak, kok bisa berbeda?" paparnya.

(Nov/Rfq)
Sumber : www.hukumonline.com
Read More ..

‘Saksi Terlibat’, Istilah Hukum yang Muncul dari Gedung Bundar

[31/5/09]
Belum ditemukan literatur dan kamus hukum yang menyinggung istilah saksi terlibat. “Itu khayalan orang kejaksaan,” kata seorang akademisi.
Puluhan tahun Romli Atmasasmita menjalani tugas sebagai akademisi hukum. Ia dikenal sebagai pakar hukum pidana internasional, dan beberapa kali menjadi duta Indonesia dalam forum dunia. Ia juga dikenal sebagai Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Aspehupiki) Indonesia.

Maka, ketika membaca berita tentang peningkatan status Hartono Tanoesoedibjo dan Yusril Ihza Mahendra dari saksi menjadi saksi terlibat, Romli langsung menggeleng kepala. “Dalam doktrin dan teori hukum pidana, tak ada istilah saksi yang terlibat. Dalam KUHAP ada persyaratan-persyaratannya (saksi –red),” tegasnya usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 26 Mei lalu. Romli menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi proyek Sisminbakum.

Saksi terlibat, atau saksi yang terlibat. Ya, istilah itu muncul dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Bermula dari pertanyaan wartawan tentang status Hartono dan Yusril dalam kasus Sisminbakum mengingat nama keduanya disebut-sebut dalam persidangan di pengadilan. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendi, mengatakan telah meminta kepada penyidik agar kedua nama tidak hanya ditempatkan sebagai saksi biasa, tetapi harus dimasukkan sebagai ‘saksi terlibat’ persoalan. Persoalan dimaksud tidak lain adalah kasus Sisminbakum.

Istilah ‘saksi terlibat’ yang diucapkan Marwan memantik perdebatan. Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, merasa belum pernah menemukan istilah itu dalam KUHAP. “Tidak, tidak ada itu,” kata Huda ketika dihubungi hukumonline. “Itu khayalan orang Kejaksaan,” tandas akademisi yang sering jadi ahli di persidangan ini.

Chaerul khawatir penyebutan istilah itu sebenarnya wujud keengganan Kejaksaan menetapkan Hartono dan Yusril sebagai tersangka. Dalam persidangan, Romli memang didakwa bersama-sama orang lain melakukan tindak pidana korupsi. Sejauh ini, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka –selain Romli-- adalah Zulkarnaen Yunus, Syamsudin Manan Sinaga, Ali Amran Jannah, dan Yohannes Woworuntu.

Penelusuran hukumonline ke dalam beberapa literatur dan kamus memang tidak menemukan istilah saksi terlibat. Yang ada hanya kata ‘saksi’. Kamus Hukum karangan JCT Simorangkir, Rudy T Erwin, dan JT Prasetyo (edisi Mei 2005) antara mengartikan saksi sebagai orang yang mengetahui dan menjamin sesuatu peristiwa itu adalah terang. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) juga memperkenalkan istilah antara lain saksi ahli, saksi alibi, saksi bisu, saksi dusta, saksi kunci, saksi mata, saksi pemberat, dan saksi peringan. Istilah ‘saksi kunci’ misalnya diartikan sebagai saksi yang sangat penting, yang dianggap mengetahui permasalahan dan dapat membantu dalam persidangan.

“Kalau menurut hukum, yang namanya saksi adalah yang menyaksikan, mengalami sendiri dan mendengar sendiri,” jelas Andy F. Simangunsong, pengacara Hartono Tanoesoedibjo. Kalau sudah pelaku, statusnya bisa berubah menjadi tersangka, dan selanjutnya terdakwa kalau sudah dilimpahkan ke pengadilan. Namun, soal bagaimana status kliennya, Andy meminta semua pihak menghormati proses yang tengah berlangsung di pengadilan. “Belum ada putusan hakim yang menyatakan sejauh mana keterlibatan saksi masing-masing dalam perkara itu,” ujarnya saat dihubungi via telepon, Jum’at (28/5).

Saksi adalah Saksi
Minimal ada dua Undang-Undang yang secara langsung mendefinisikan istilah saksi. Pertama, KUHAP. Pasal 1 angka 26 menyebut saksi sebagai “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Kedua, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006. Berdasarkan payung hukum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, [enuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.

Dalam bagian penyidikan KUHAP, perumusan keterangan tersangka nyaris selalu diikuti dengan keterangan saksi. M. Yahya Harahap dalam bukunya ‘Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan’ (2002) juga menyinggung masalah ini. Ia menulis begini: “Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan antara pemeriksaan saksi dengan tersangka. Baik mengenai tata cara pemanggilan maupun cara pemeriksaan, sama-sama dilandasi oleh peraturan dan prinsip yang serupa. Bahkan pengaturannya dalam KUHAP hampir seluruhnya diatur dalam pasal-pasal yang bersamaan, tidak dipisah dalam aturan pasal yang berbeda”.

Apakah itu menggambarkan besarnya kemungkinan seorang saksi berubah status menjadi terdakwa dalam penyidikan? Bisa jadi demikian. “Kalau dalam pemeriksaan sebelumnya diperiksa sebagai saksi, lalu kemudian ada penyebab lain dan berdasarkan bukti-bukti, bisa saja jadi tersangka,” jelas Chaerul Huda. Yang jelas, dalam proses pembuktian di persidangan, keterangan saksi-saksi berperan penting. Satu saksi bukanlah saksi, unus testis nullus testis.

Saksi adalah saksi. Kalau statusnya naik, harusnya menjadi tersangka. Dalam suatu kejahatan yang dilakukan bersama-sama, tidak mungkin yang satu diseret menjadi terdakwa, yang lain hanya sekedar saksi. “Kalau dilakukan bersama-sama, mestinya semua jadi terdakwa”. Tinggal persoalannya, apakah akan dituntut bersama-sama dalam satu berkas, atau dipisah.

Penjelasan Marwan tampaknya harus dibaca dalam konteks kemungkinan perubahan status Hartono dan Yusril. Sejauh ini (sampai berita ini ditulis—red), status keduanya memang masih sebagai saksi. Ia menyebut saksi terlibat sebagai antisipasi kemungkinan perkembangan yang terjadi di persidangan kasus Sisminbakum, baik dalam perkara Romli dan Syamsudin Manan Sinaga maupun berkas perkara tersangka lain. “Dalam dakwaan, mereka memang sebagai saksi. Tetapi tidak menutup kemungkinan nanti fakta di persidangan, mengubah status mereka. Tetapi tidak terbatas kepada kedua orang itu (Hartono dan Yusril –red),” jelas Marwan.

Dalam praktik, memang sering terjadi, tidak semua orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana diseret ke meja hijau. Apalagi, demi kepentingan membongkar suatu kasus, penyidik bisa saja menerapkan deponir perkara seseorang asalkan orang tersebut bersedia membuka informasi detail mengenai kejahatan yang mereka lakukan.

Fadil Zumhana, penuntut umum dalam perkara Romli, mengingatkan bahwa kasus Sisminbakum melibatkan beberapa orang, sehingga jaksa menggunakan konsep penyertaan (deelneming). Dalam konsep turut serta itu, kejelasan status Romli dan peran saksi lain dalam konsep penyertaan baru akan ketahuan pada tahap pembuktian kelak. Bahkan kemungkinan dalam putusan.
(Mys/Rfq)
Sumber : www.hukumonline.com
Read More ..

29.5.09

Semburan Lumpur Sidoarjo Tidak Mengandung Minyak Mentah

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS
NOMOR : 31/HUMAS DESDM/2009
Tanggal : 11 Mei 2009


SEMBURAN LUMPUR SIDOARJO TIDAK MENGANDUNG MINYAK MENTAH


Hasil penelitian dan analisa yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (PPPTMG) ‘LEMIGAS’ menghasilkan bahwa tidak ditemukan kandungan minyak mentah (crude oil) dalam jumlah besar pada lumpur di pusat semburan lumpur yang masih aktif di lokasi semburan lumpur Sidoarjo. Berdasarkan analisa menunjukkan hydrokarbon yang tercampur pada lumpur merupakan ceceran produk olahan dari minyak bumi (minyak pelumas bekas).

Penelitian dan analisa PPPTMG ‘LEMIGAS’ dilakukan sebagai tindak lanjut kejadian tanggal 19 Maret 2009 yang menjadi pemberitaan beberapa media masa yang menyebutkan adanya indikasi semburan minyak bercampur lumpur dan air di lokasi semburan gas Lumpur Sidoarjo. Selain tim dari PPPTMG ‘LEMIGAS’, pada pengambilan percontoh (sampling) pada tanggal 21 hingga 22 Maret 2008, juga dilakukan tim dari Direktorat Jenderal Migas dan Badan Geologi.

Percontoh atau sampling lumpur diambil dari Tanggul Cincin (TC) 45, TC 44.1, TC 42.1. Untuk percontoh minyak dan air diambil dari lokasi TC 46. Pengambilan percontoh lumpur kering dilakukan pada Tanggul Intra Section 16 dan Tanggul PPI 18. Sedang untuk percontoh gas diambil pada lokasi dekat Pabrik Kerupuk Candi, Desa Jatirejo (Tanggul Intra Section 22-23) dan Desa Ketapang (berupa gas bubbles). Semua percontoh (emulsi liquid, air dan gas) dianalisis di Laboratorium ‘LEMIGAS’.

Analisa yang digunakan terdiri dari analisa Total Petroleum Hydrokarbon (TPH), analisa Finger Printing, analisa Komposisi Gas, analisa Isotop Hydrokarbon dan analisa Oil Content. Berdasarkan analisa terhadap percontoh memperlihatkan terdapat live hydrokarbon dalam lumpur. Namun konsentrasi tergolong kecil dan masih dibawah ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Analisa Oil Content dan TPH terhadap percontoh air juga memperlihatkan dibawah ambang batas KLH sehingga aman dialirkan ke badan air.

Sedang analisa terhadap gas yang berasal dari gelembung gas (gas bubble), memperlihatkan bahwa gas tersebut merupakan gas methana yang merupakan hasil dari proses thermogenic dan tidak berbahaya. Gas yang keluar dari bawah permukaan ini berupa gelembung gas dengan tekanan rendah dan langsung tersebar ke udara sehingga konsentrasi gas methana menjadi kecil saat berada di dalam udara bebas.

Terhadap lumpur yang diduga mengandung minyak mentah (crude oil) juga tidak terbukti. Selain kandungan minyaknya sangat kecil, berdasarkan analisa, lumpur tersebut merupakan atau mengandung jenis tanah/lempung. Hal ini juga didukung analisis XRD bahwa lumpur/batuan percontoh mengandung jenis lempung yaitu smectite, kaolinite dan lilite serta sedikit clorite. Adapun kandungan logam berat pada percontoh juga tidak signifikan.

Kepala Biro Hukum dan Humas
Sutisna Prawira
Read More ..

5.5.09

Antasari Resmi Ditahan, Polisi Terus Dalami Bukti

[5/5/09]
Polda Metro Jaya terus dalami keterlibatan Antasari Azhar dalam pembunuhan berencana Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Bukti memang mengarah pada aktor intelektual. Pengacara mempertanyakan bukti permulaan yang cukup sebagai dasar menahan Antasari.
Setelah beberapa waktu bungkam, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono akhirnya buka mulut. Ia menguraikan secara detail proses penyidikan yang dilakukan dalam mengungkap kasus pembunuhan berencana terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Seperti diketahui, 14 Maret lalu, Nasrudin ditembak pengendara motor tepat di kepalanya usai bermain golf di Tangerang.

Terkait peristiwa pembunuhan itu, sudah sembilan tersangka ditahan. Terakhir, polisi menahan Antasari Azhar setelah Ketua non aktif KPK itu dinyatakan resmi sebagai tersangka. Penetapan status Antasari sebagai tersangka tidak dilakukan begitu saja. Polisi sudah memeriksa keterangan tersangka lain dan saksi-saksi.


Awalnya, polisi berhasil mengidentifikasi dan menangkap tersangka berinisial H yang berlaku sebagai joki (pengendara motor Scorpio). Dari mulut Heri (H) muncul nama Danial (D), tersangka lain yang ketika penembakan terjadi berboncengan dengan H dan bersama-sama melakukan eksekusi terhadap Nasrudin. Keduanya menjadi eksekutor penembakan.

Selain D, H juga menyebut-nyebut Hendricus Kia Walen (HKW) sebagai pihak yang memberi “pekerjaan”. Tak lama, HKW pun ditangkap. Dari keterangan HKW didapatlah pelaku lapangan lain yang bernama Franciscus (FT) alias AM. Versi polisi, FT bertugas memantau dan mengobservasi kebiasaan Nasrudin. Ia juga membeli senjata api yang disinyalir didapat dari anggota disersi TNI Angkatan Laut dengan harga Rp11 juta.

Kepada polisi, HKW mengaku mendapat “pekerjaan” atau order dari seseorang bernama Edo (E). Dari keterangan E, diketahui, sebelum terjadinya penembakan, E menghadiri pertemuan di sebuah hotel. Dalam pertemuan tersebut, E dipertemukan pengusaha bernama Jefri (J) dengan seorang oknum kepolisian. Belakangan nama mantan Kapolres Jakarta Selatan, berinisial WW, diperiksa. Wiliardi Wizard (WW). Kadiv Profesi dan Pengamanan Mabes Polri, Oegroseno, tidak menampik keterlibatan seorang perwira polisi. Oknum polisi ini, kata Oegroseno, sedang diproses juga untuk kemungkinan penjatuhan sanksi etik dan profesi. Berdasarkan catatan hukumonline, salah seorang perwira yang pernah menjabat Kapolres Jakarta Selatan adalah Wiliardi Wizard.

Seperti dijelaskan Kapolda, WW mengaku ikut dalam pertemuan dan menerima dana dari seorang pengusaha lainnya yang disebut-sebut sebagai Komisaris Utama Harian Merdeka Sigid Haryo Wibisono (SHW). WW-lah yang mencarikan orang untuk mengeksekusi Nasrudin. Untuk mengeksekusi Nasrudin, E mendapat Rp500 juta dari SHW. Sebesar Rp100 juta disisihkan E untuk dirinya sendiri. Kemudian, sisanya, Rp400 juta E berikan kepada HKW untuk dibagikan juga ke H, D, dan FT yang merupakan pelaku lapangan.

Karena WW dalam pemeriksaan menyebut SHW sebagai penyandang dana, maka SHW pun ditangkap. Dari mulut SHW pula nama Antasari Azhar muncul. Selain SHW, WW juga mengaku kenal dengan Antasari. Atas dasar keterangan-keterangan dari hasil pemeriksaan inilah Antasari dipanggil sebagai saksi.

Penuhi panggilan
Seperti dia janjikan sebelumnya, Antasari Azhar memenuhi panggilan penyidik, Senin (04/05). Didampingi sejumlah pengacara, sekitar pukul 09.50 Antasari tiba ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Ia diperiksa sebagai saksi.

Namun dalam hitungan jam, status Antasari sudah berubah menjadi tersangka. Pada pukul 14.00 Antasari diperiksa kembali dalam status tersangka. Tiga jam berselang, penyidik menerbitkan surat perintah penahanan terhadap mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat itu. Ia ditahan di Rutan Narkoba Polda Metro Jaya.

Perubahan status yang demikian cepat membuat tim pengacara Antasari kaget. Ari Yusuf Amir, pengacara Antasari, menjelaskan kliennya hanya diajukan 20 pertanyaan. Dari 20 pertanyaan itu, tidak ada yang relevan dengan pembunuhan Nasrudin. Itu sebabnya Ari mengaku kaget. “Kami juga kaget proses ini. Di luar dugaan kami. Tetapi, kami lihat dari materi yang ditanyakan tidak ada relevansinya. Bahwa benar beliau kenal dengan tersangka yang sudah ada ini (SHW), tetapi tidak dalam kasus pembunuhan,” ujarnya.

Selain menanyakan hal yang tidak relevan, advokat yang berkantor di kawasan Kuningan ini mengatakan penyidik tidak memberi tahu bukti permulaan cukup apa yang mereka kantongi, sehingga dapat menetapkan status Antasari sebagai tersangka. “Bukti permulaan yang cukup kita tidak diberi tahu”. Yang pasti, sudah lima butir pertanyaan dilontarkan penyidik. Dari lima pertanyaan tersebut, kata Ari, Antasari hanya mengiyakan pertanyaan yang benar-benar diketahuinya. Mengenai pesan pendek atau SMS Antasari bernada “ancaman” di telepon genggam (handphone) Nasrudin, sama sekali tidak ditanyakan. “Yang dibenarkan ya yang dianggap benar. Benar beliau kenal, tapi tidak dalam kasus pembunuhan. Jelas-jelas dia katakan tidak ada kaitanya. Pertanyaan terkait SMS tidak ada,” kata Ari.

Farhat Abas, kuasa hukum Antasari lainnya, menyampaikan keberatan atas penahanan kliennya. Sebab, penahanan tidak dilakukan dalam waktu 1 x 24 jam setelah dikeluarkannya surat perintah penangkapan.

Walau pasal yang dikenakan sudah ada, penyidik diduga belum mengetahui persis seperti apa keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Muhammad Iriawan mengaku, penyidik sedang mendalami hal itu, termasuk kemungkinan Antasari sebagai aktor intelektual pembunuhan. “Sedang kita dalami. Yang jelas, alat bukti sudah ada mengarah ke sana (sebagai aktor intelektual --red),” ujarnya.

Tugas bela negara
Antasari baru saja ditahan, sementara kelima pelaku lapangan (eksekutor pembunuhan Nasrudin) sudah ditahan sejak minggu lalu. Namun, penahanan mereka masih dipermasalahkan. Pengacara lima tersangka tersebut, BM Slamet Situmorang mengatakan para eksekutor lapangan mengaku, pihak yang memberi order mengatakan pembunuhan Nasrudin sebagai operasi bela negara. “Menyebutkan bahwa operasi ini adalah bela negara. Nasrudin itu berbahaya besar karena bisa menggagagalkan Pemilu 9 April 2009. Kalau tidak dijalankan, maka bisa beresiko”.

Oleh karena itu, para tersangka eksekutor lapangan yang ternyata adalah security services ini dengan percaya diri melakukan pembunuhan. Lagipula, ketika transaksi (pemberian uang) dilakukan -bertempat di Cilandak Town Square- si pemberi order membawa-bawa mobil patroli. Sehingga, para tersangka eksekutor lapangan ini menjadi semakin yakin yang dijalankannya adalah tugas bela negara.

Sumber : hukumonline.com
Read More ..

Ketua KPK Resmi Tersangka dan Dicekal

[1/5/09]
Anehnya, status hukum Antasari justru diumumkan oleh Kejaksaan Agung, sedangkan pihak Mabes Polri menyatakan belum tahu-menahu.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Panjaitan, resmi mengumumkan Ketua KPK Antasari Azhar sebagai tersangka penembakan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang terjadi beberapa waktu lalu. Jasman mengumumkan hal ini dalam jumpa pers kepada wartawan di gedung Kejaksaan, Jumat (1/5).

Selain mengumumkan status Antasari, Kejaksaan juga mengumumkan pencekalan terhadap mantan Direktur Penuntutan Kejaksaan ini. Sebelumnya pada 30 April 2009 Mabes Polri mengirimkan surat resmi kepada Kejaksaan untuk meminta agar Antasari dicekal. "Antasari sebagai intellectual dader dalam kasus penembakan ini," kata Jasman membacakan surat dari Mabes Polri. Dari sejumlah tersangka, Kejaksaan hanya mengajukan pencekalan terhadap Antasari.


Kepala Divisi Humas Mabes Polri Abu Bakar Nataprawira, membantah telah menetapkan Antasari sebagai tersangka. "(Status Antasari sebagai tersangka) itu tidak bisa langsung dibuka kalau penyidikan belum selesai." Abu Bakar juga mengaku tak tahu menahu tentang pencekalan Antasari.

Abu Bakar sendiri belum mengetahui apakah Antasari pernah diperiksa atau tidak oleh penyidik. Namun begitu, ia berjanji Polri akan terus melakukan penyidikan perkara ini tanpa pandang bulu. "Akan terus kami kembangkan meskipun penyidikan mengarah pada siapapun juga. Mudah-mudahan Senin (4/5) kita bisa (umumkan hasilnya)."

Mabes Polri sendiri sudah hampir sebulan mengawasi Polda Metro Jaya dalam menangani perkara pembunuhan Nasrudin ini. Sejauh ini sudah ada sembilan orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Dua diantaranya masih dalam proses pencarian.

Pesan pendek Antasari
Pengacara keluarga Nasrudin, Jeffry Lumempouw membenarkan fakta saling kenalnya Nasrudin dengan Antasari. Sebulan sebelum penembakan Nasrudin pernah menunjukkan pesan pendek dari Antasari kepada Jeffry yang isinya permintaan maaf Antasari karena telah melecehkan istri Nasrudin.

Mengutip ulang isi pesan pendek Antasari kepada Nasrudin, Jeffry menuturkan Antasari meminta agar Nasrudin tak usah membeberkan perselisihan ini ke publik. "Cukup kita berdua saja," kata Jeffry mengulangi intisari pesan pendek Antasari.

Kala itu, lanjut Jeffry, Nasrudin geram atas pesan pendek Antasari. "Beliau marah atas SMS Antasari dan berniat membuka aib ini kepada publik supaya Antasari dicopot." Polisi, sambungnya, sudah mengamankan handphone Nasrudin sebagai barang bukti. Ia berharap agar polisi mengumumkan isi sms Antasari kepada masyarakat agar fakta sebenarnya terungkap.

Pasal 32 Ayat (2) UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.

Sumber : hukumonline.com
Read More ..