1.6.09

Mahkamah Agung Tolak Kasasi YLBHI Kasus Lapindo

[29/5/09]

Dalam pertimbangannya, majelis kasasi berpendapat alasan memori kasasi yang diajukan YLBHI hanya pengulangan dalil-dalil yang sudah disampaikan pada pengadilan di tingkat sebelumnya.

Semburan lumpur lapindo di Sidoarjo pada Jumat (29/5) akan tepat ‘berusia’ tiga tahun pada Jumat (29/5). Puluhan ribu warga menjadi korban dan terpaksa menjadi pengungsi. Sepuluh desa hilang tenggelam lumpur. Diperkirakan lumpur akan terus memakan korban karena hingga kini tak ada tanda-tanda semburan akan berhenti.

Berlarut-larutnya proses ganti rugi oleh Lapindo tentunya menjadi pukulan menyesakkan bagi korban. Boleh jadi kenyataan pahit bagi masyarakat korban akan bertambah setelah mendapat informasi dari Mahkamah Agung.

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Nurhadi mengatakan majelis hakim agung menolak kasasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melawan Pemerintah dan Lapindo. Putusan diambil 3 April 2009, dengan majelis yang dipimpin oleh Paulus Effendy Lotulung dan beranggotakan Ahmad Sukarja dan Imam Soebechi. “Amar putusannya, kasasi ditolak,” ujar Nurhadi kepada wartawan, Kamis (28/5).

Alasannya, memori kasasi yang diajukan oleh YLBHI hanya berupa pengulangan dalil-dalil yang sudah disampaikan pada pengadilan di tingkat sebelumnya. “Dalilnya sama dengan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,” kata Nurhadi.

Pemohon juga melakukan penilaian terhadap hasil pembuktian. Padahal, lanjut Nurhadi, argumen seperti itu tak bisa dipertimbangkan oleh majelis kasasi. Alasan untuk mengajukan kasasi, antara lain adanya kesalahan penerapan hukum di pengadilan tingkat bawah. “Putusan ini artinya, lapindo dimenangkan,” tegasnya.

Direktur Riset dan Pengembangan YLBHI, Zainal Abidin menyayangkan putusan ini. Menurut dia, putusan MA ini menunjukkan rendahnya kepedulian institusi peradilan terhadap rasa keadilan masyarakat. “Putusan ini bisa menjadi preseden buruk bagi masyarakat yang menjadi korban dalam kejadian serupa di kemudian hari,” kata Zainal lewat telepon, Kamis (28/5).

Untuk mengingatkan, YLBHI yang tergabung dalam Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Panas Sidoarjo menggugat Pemerintah dan PT Lapindo Brantas (Turut Tergugat) ke PN Jakarta Pusat, Desember 2006 lalu. Mereka menggugat kelambanan dan ketidakseriusan pemerintah dalam menanggulangi dampak semburan lumpur. Sayang, dalam putusannya majelis hakim PN Jakarta Pusat menolak gugatan karena menilai pemerintah dan Lapindo sudah bertanggung jawab.

Bagi Zainal, putusan MA ini kontradiktif dengan kondisi di lapangan. Pemerintah dianggap tak bisa menunjukkan ‘taringnya’ melihat berlarut-larutnya proses pembayaran ganti rugi oleh Lapindo. Padahal pemerintah sudah mengaturnya dalam Perpres No 14 Tahun 2007. “Pemerintah lebih membela Lapindo dari pada warga negaranya sendiri. Hal ini terlihat dari gagalnya pemerintah mengimplementasikan kebijakannya sendiri yang tertuang dalam Perpres No 14 Tahun 2007.” Atas putusan ini, Zainal menyatakan YLBHI akan mempertimbangkan untuk mengajukan upaya peninjauan kembali.


Gugatan oleh Korban?

Sejauh ini memang baru LSM yang mengajukan gugatan. Selain YLBHI di PN Jakarta Pusat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga pernah menggugat PT Lapindo Brantas dkk di PN Jakarta Selatan. Nasib gugatan ini serupa. Hakim PN Jakarta Selatan menolaknya. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan itu.

Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Taufik Basari menandaskan putusan MA ini tak menutup pintu bagi korban lumpur untuk mendapatkan keadilan. “Masyarakat yang menjadi korban masih bisa mengajukan gugatan kepada pemerintah dan Lapindo dengan dalil, fakta dan data yang berbeda,” ujar pria yang biasa disapa Tobas ini.

Salah satu pilihan gugatan yang bisa ditempuh korban, lanjut Tobas, adalah gugatan wanprestasi kepada Lapindo. “Ini terkait dengan sikap Lapindo yang terus mengulur-ulur pembayaran ganti rugi yang menyebabkan penderitaan korban menjadi bertambah.”

Zainal tak sependapat dengan Tobas mengenai pilihan rencana gugatan oleh korban. Menurut dia, dengan sistem peradilan yang belum menjamin keadilan bagi masyarakat ini, peluang korban untuk menang amatlah tipis. “Nanti kalau gugatannya ditolak, bisa menjadi dasar bagi Lapindo untuk tak mau membayar ganti rugi. Jika ini terjadi, siapa yang mau menanggung penderitaan korban?”

(IHW/Ali)
Sumber : www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar