1.6.09

Duduk Bersama Bukan Solusi Selama Persyaratan Belum Terpenuhi Kasus Lapindo

[30/5/09]

Kejaksaan belum terpikir rencana percepatan penyelesaian kasus Lapindo. Sementara, Polri akan mempercepat langkah apabila ada putusan perdata MA yang mendukung penyidikan.

Pada tahun 2006, Polda Jawa Timur mulai mengusut kasus pidana yang menyebabkan semburan lumpur PT Lapindo Brantas Inc. Namun, sampai tiga tahun berjalan, berkas penyidik belum juga dinyatakan P21, lengkap syarat formil dan materil. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tidak dapat menyatakan lengkap karena keterangan ahli yang dijadikan salah satu alat bukti masih terpecah-pecah. Dari 12 ahli yang dimintai pendapat, sembilan ahli menyatakan semburan lumpur Lapindo murni disebabkan bencana alam dan sisanya menyatakan human error.


Selain itu, ada bukti hasil laboratorium yang menyebutkan bahwa zat yang terkandung dalam semburan lumpur Lapindo adalah zat yang ditemukan di kedalaman 20.000 kaki. Sementara, pengeboran baru mencapai 9200 kaki.

Atas dasar ini, Kejaksaan menilai alat bukti yang disodorkan penyidik menjadi tidak kuat, sehingga penuntut umum tidak mau menerima pelimpahan berkas dari penyidik. Dan itu terjadi sampai saat ini. Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD) mengatakan hingga kini, masih terjadi ketidaksepahaman antara penyidik dan penuntut umum (29/5). Sehingga, kasus ini jalan di tempat dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi semua pihak, baik korban maupun tersangka.

Walau berada dalam ketidakpastian hukum, BHD menyatakan belum ada rencana untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus ini. Ia masih berharap dapat mensinkronkan persepsi antara penyidik dan penuntut umum. Caranya, ya dengan duduk bersama mencari titik temu terkait dengan perbedaan pandangan ahli atas penyebab semburan lumpur Lapindo ini.

Sejalan dengan itu, kepolisian juga akan melihat perjalanan putusan Mahkamah Agung (MA) tentang keperdataan dan lainnya. Apabila MA mengeluarkan putusan perdata yang mendukung terpecahnya kebuntuan penyidikan selama ini, maka kepolisian akan secepat mungkin memberikan kepastian hukum. "Kalau nanti ada putusan MA yang mendukung, tentunya kita tidak akan berlama-lama dan mungkin akan melakukan tindakan-tindakan untuk memberikan kepastian hukum," ujar BHD.

Maka dari itu, kepolisian belum akan memberhentikan kasus Lapindo ini. Andaikata putusan yang dimaksud sudah keluar, kepolisian akan mengkajinya terlebih dahulu. Setelah itu, akan mencoba duduk bersama dengan penuntut umum. Siapa tahu perbedaan pandangan mengenai keterangan ahli dapat terselesaikan, dan berkas bisa dinyatakan P21 oleh penuntut umum. "Kita lihat nanti, kita kaji, andaikata kita bisa duduk bersama dengan penuntut umum bisa menyelesaikan perbedaan pandangan tentang keterangan ahli, ya Insya Allah berkas maju," tukasnya.

Harapan kepolisian ini ditanggapi pihak kejaksaan. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga mengatakan, silahkan saja selama syarat kelengkapan berkas terpenuhi. Masalahnya, persyaratan mengenai ahli itu tidak dapat diganggu gugat. "Kalau nggak bisa memenuhi (syarat), masa' persyaratannya yang harus diubah?" tandasnya.

Masalahnya, jalur pidana merupakan sisa 'amunisi' yang tertinggal untuk penyelesaian kasus Lapindo. Jalur perdata sudah kandas, seiring dengan ditolaknya kasasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) oleh Mahkamah Agung, 3 April lalu. Untuk itu, Ritonga ingin supaya kasus Lapindo ini diajukan dengan bukti yang kuat. "Jadi, itu di perdata sudah kalah. Nah, nyawanya tinggal di pidana. Di pidana sudah menyatakan syarat ini harus kuat," ujarnya.

Ia khawatir kalau tetap dipaksakan lanjut ke persidangan, para terdakwa akan diputus bebas majelis hakim. Dan lagi-lagi yang akan menjadi bulan-bulanan adalah kejaksaan. "Nanti kalau diputus bebas bagaimana? Kalian salahkan saya? Mau dipaksakan maju, ya maju aja. Tapi, kalau ada apa-apa nggak tanggung jawab," cetusnya.


Langkah percepatan

Sementara kepolisian sudah merencanakan langkah ke depan guna mencapai kepastian hukum, kejaksaan belum terpikir untuk melakukan percepatan penyelesaian kasus Lapindo ini. Masalahnya bukan apa-apa, sudah tiga tahun kasus ini berjalan, tapi tak kunjung mencapai titik temu."(Crash program atau percepatan penyelesaian perkara) belum terpikir. Penyidikan masih di Kepolisian. Nggak ada dalam KUHAP, kalau (sudah) tiga tahun harus diterima," kata Ritonga.

Lagipula penyidik, harus mengklarifikasi kepada ahli mengenai apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur tersebut. Sehingga, lanjutnya, akan menjadi (pembuktian) yang dapat dipertanggungjawabkan. "Kausalitasnya jelas." Dengan demikian, sampai saat ini, kejaksaan masih akan menunggu dilengkapinya penyidik untuk memperkuat bukti. Termasuk mensinkronkan pendapat ahli dengan fakta pengeboran Lapindo yang baru 9200 kaki.

Mengenai ahli, Ritonga mengatakan tidak ada kualifikasi khusus. "Nggak ada. Kalau ahli mengenai Lapindo nggak mungkin tukang becak, yang pintar-pintar lah. Ini soalnya di bawah tanah. Kalau ilmu sosial berbeda pendapat itu lumrah, tapi kalau 'ilmu' Lapindo itu kan eksak, kok bisa berbeda?" paparnya.

(Nov/Rfq)
Sumber : www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar